SEJARAH UJUNG BERUNG REBELS DI INDONESIA
| Sabtu, 05 Mei 2012 at 05.07
0
komentar
Labels :
PANCEG DINA JALUR : UJUNGBERUNG REBELS
Oleh Kimung
Ujungberung adalah sebuah kota kecamatan di bandung
bagian paling timur. Daerah ini berada pada ketinggian 668 m di atas
permukaan laut, berbatasan dengan Kecamatan Cibiru di timur, Kecamatan
Arcamanik di barat, Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung di utara,
dan Kecamatan Arcamanik di Selatan. Kecamatan Ujungberung mempunyai luas
wilayah 1.035,411 Ha, dengan jumlah penduduk 67.144 jiwa. Sejak dulu,
Ujungberung terkenal sangat kental dengan seni tradisionalnya, terutama
seni bela diri benjang, pencak silat, angklung, bengberokan, dan kacapi
suling.
Kultur
kesenian rupanya tak lekang dari generasi muda Ujungberung walau
Ujungberung kemudian dibom oleh kultur industri. Daya eksplorasi
kesenian yang tinggi membuat tipikal seniman-seniman muda Ujungberung
terbuka terhadap segala pengaruh kesenian. Salah satu yang kemudian
berkembang pesat di Ujungberung selain seni tradisional adalah musik
rock/metal.
Ujungberung 1990
Masih
tak jelas kapan rock/metal masuk ke Ujungberung. Agaknya, sejak booming
Guns n Roses, Metallica, dan Bon Jovi di Indonesia, Ujungberung tak
ketinggalan tren ini. Walau dalam kondisi yang sangat terbatas beberapa
gelintir kaum muda Ujungberung membentuk band dan memainkan lagu-lagu
band rock favorit mereka. Di kalangan komunitas Ujungberung Rebels
sekarang, Kang Koeple (kakak Yayat-produser Burgerkill) dan Kang Bey
(kakak Dani-Jasad) bisa disebutkan sebagai generasi awal pemain band
rock di Ujungberung. Pertengahan tahun 1980an hingga awal 1990an, mereka
memainkan lagu-lagu rock semacam Deep Purple, Led Zeppelin, Queen, dan
Iron Maiden selain juga menciptakan lagu sendiri.
Era ini kultur panggung yang berkembang Ujungberung, dan juga di Bandung,
adalah kultur festival. Band tandang-tanding di sebuah festival musik
dan band yang menang akan masuk dapur rekaman. Kita mungkin masih ingat
Rudal Rock Band, salah satu band rock yang lahir dan sukses dari kultur
ini. Saat itu saya masih kelas lima SD
ketika tercengang-cengang melihat penampilan pemain bass-nya yang
membetot dawai bass penuh energi. Mirip Cliff Burton. Sejak itu saya
bercita-cita menjadi seorang pemain bass dan memainkan musik metal
sekencang-kencangnya!
Agaknya
ketercengangan yang sama menginspirasi generasi adik-adik Kang Koeple
dan Kang Bey untuk mendirikan band. Tahun 1990 di Ujungberung, Yayat
mendirikan Orthodox bersama Dani, Agus, dan Andris. Orthodox memainkan
Sepultura album Morbid Vision dan Schizophrenia. Sementara itu di
Ujungberung sebelah barat, Sukaasih, berdiri Funeral dan Necromancy.
Funeral digawangi AamVenom, Uwo, Iput. Mereka memainkan lagu-lagu
Sepultura, Napalm Death, Terrorizer. Sementara itu, Necromancy memainkan
lagu-lagunya Carcass dan Megadeth. Band ini dua kali merombak
personilnya berdasarkan musik yang mereka mainkan. Era crossover
Necromancy terdiri dari Dinan (Vox), Oje (gtr), Aria (bass), Punky (dr).
Era metal terdiri dari Dinan (vox), Oje (gtr), Andre (gtr), Boy (bass),
Punky (Dr). Andre kini kital kenal sebagai gitaris Full of Hate.
Di
Ujungberung sebelah timur, tepatnya di daerah Cilengkrang I,
Tirtawening, berdiri Jasad yang digawangi Yulli, Tito, Hendrik, Ayi.
Mereka membawakan lagu-lagu Metallica dan Sepultura. Pertama kali saya
melihat Jasad ketika saya kelas 2 SMP ketika mereka manggung di sebuah
festival rock di Alun-alun Ujungberung. Masih terkenang bagaimana
Alun-alun dipenuhi pemuda gondrong berstelan hitam-hitam. Ingar bingar
menghajar atmosfer sore itu. Jasad memainkan lagu Metallica saat itu dan
untuk kedua kalinya saya tercengang melihat penampilan band rock.
Sementara itu, di Cilengkrang II kawasan Manglayang, berdiri band
Monster yang membawakan heavy metal ciptaan sendiri dengan motor gitaris
Ikin, didukung Yadi, Abo, Yordan, Kenco, dan Kimung.
Yang
unik, perkenalan para pionir ini berawal dari tren anak muda saat itu :
main brik-brikan. Dinan (Necromancy) pertama kali kenal dengan Uwo-Agus
(Funeral) dari jamming brik-brikan. Pun di kawasan Manglayang. Para
personil Monster adalah para pecandu brik-brikan. Mereka berbincang
mengenai musik, saling tukar informasi, dan akhirnya bertemu, membuat
band, dan membangun komunitas. Selain brik-brikan, faktor kawan
sesekolah juga menjadi stimulan terbentuknya sebuah band. SMP 1
Ujungberung—kini SMP 8 Bandung—menyumbangkan
Toxic—Addy-Ferly-Cecep-Kudung—yang merupakan cikal bakal dari Forgotten.
Band anak-anak SMP ini berdiri sekitar tahun 1991 atau 1992. Addy kita
kenal sebagai vokalis Forgotten. Sementara Ferly adalah gitaris Jasad
sekarang. Belum lagi band-band di SMA 1 Uungberung—kini SMA 24
Bandung—yang tak tercatatkan saking banyaknya.
Yang
sangat mengagumkan di era ini adalah mereka telah memiliki radio
komunitas yang dibuat dan diurus sendiri. Radionya bernama Salam Rama
Dwihasta, di kawasan Sukaasih, berdiri tahun 1992 ketika metal semain
menggila di Ujungberung. Radio ini radio biasa, tapi memilki program
khusus lagu-lagu metal/death metal/grindcore. Nama programnya “Bedebah”
dan mengudara setiap sore. Ketika permetalan didominasi heavy metal,
“Bedebah”-nya Salam Rama Dwihasta sudah menggeber gelombang dengan
Napalm Death, Carcass, Terrorrizer, Morbid Angel. Dua penyiarnya adalah
Agung dan Dinan. Kabarnya, Dinan masih berseragam putih abu saat itu. Di
balik usia belia mereka, saya merasakan semangat luar biasa dari para
pionir ini dalam upaya menyebarkan musik metal di Ujungberung dan Bandung.
Salut lur! Generasi ini juga tumbuh dalam kultur festival. Mungkin
selain festival, panggung kecil agustusan dan event-event sekolah
semacam kelulusan atau samen adalah ajang mereka berunjuk gigi.
Generasi Pendobrak : Homeless Crew dan Ujungberung Rebels
Kultur
festival yang dirasa kurang bersahabat membuat gerah segelintir musisi
muda. Dalam festival mereka harus memenuhui banyak syarat. Harus
memainkan lagu band anu-lah, harus jadi gini lah, jadi gitu lah,
pendeknya festival menuntut band untuk menampilkan wajah sama, bermanis
muka agar menang di depan sponsor atau produser. Hal itu memangkas
semangat ekspresi rock/metal juga semangat terdalam dan manusiawi dalam
diri seorang seniman untuk berkarya. Dengan kesadaran baru itu
gelintiran musisi muda Ujungberung maju dan merangsek jalanan.
Akhir
tahun 1993, muncul kekuatan baru dari Ujungberung. Masa ini berdiri
Studio Palapa, sebuah studio latihan musik milik Kang Memet yang
dikelola Yayat dan Dani (Orthodox). Studio ini kemudian menjadi kawah
candradimuka band-band Ujungberung hingga melahirkan band-band besar,
kru-kru yang solid, dan musisi-musisi jempolan. Studio Palapa juga yang
kemudian melahirkan rilisan-rilisan kaset pertama di Indonesia.
Mereka merekam lagu-lagu dengan biaya sendiri, mendistribusikan
sendiri, melakukan semua dengan spirit Do It Yourself. Dari sepuluh band
independen di Indonesia
yang tercatat Majalah Hai tahun 1995, tiga di antaranya berasal dari
Ujungberung. Mereka adalah Sonic Torment, Jasad, dan Sacrilegious. Label
dan perusahaan rekamanyang mereka kibarkan adalah Palapa Records.
Tahun
1995, di Ujungberung berdiri sebuah perkumpulan anak-anak metal
bawahtanah yang menamakan diri sebagai Extreme Noise Grinding (ENG).
Organisasi inilah cikal bakal segala dinamika Ujungberung Rebels, hingga
hari ini. ENG digagas para pionir seperti Yayat dan Dinan sebagai wadah
kreativitas anak-anak Ujungberung. Propaganda awal mereka adalah
membuat sebuah media sharing antar dan inter komunitas musik metal
bawahtanah berbentuk zine dengan nama Revograms. Zine ini disebut-sebut
sebagai zine pertama di komunitas musik bawahtanah dan juga komunitas
independen Indonesia.
Revogram digagas Dinan dan dilaksanakan Tim Redaksi Revogram
beranggotakan Ivan, Kimung, Yayat, Dandan, Sule, Gatot. Propaganda
selanjutnya adalah membuat acara musik Bandung Berisik Demo Tour yang
lalu dikenal sebagai Bandung Berisik I. Di acara ini lima belas band Ujungberung unjuk gigi, ditambah bintang tamu Insanity dari Jakarta.
Hingga kini, Bandung Berisik tetap diusung masyaraat metal Ujungberung
selain tiga pergelaran khas Ujungberung lainnya, Death Fest, Rottrevore
Death Fest, dan Rebel Fest.
Setelah
Bandung Berisik, propaganda dilanjutkan dengan merencanakan sebuah
kompilasi band-band Ujungberung sebagai manifestasi atas eksistensi
komunitas. Kompilasi tersebut memuat 16 band metal Ujungberung dan
bertajuk Ujungberung Rebels. Kompilasi ini dirilis Musica dengan judul
Independen Rebels dengan nilai transaksi 14 juta tahun 1998. Namun
demikian, nama Ujungberung Rebels tak lantas pudar. Nama ini kemudian
menjadi identitas komunitas musik metal bawahtanah Ujungberung,
berdampingan dengan nama Homeless Crew yang merujuk pada gaya hidup musisi Ujungberung yang hidup di jalanan dan bohemian.
Keuntungan
kompilasi Independen Rebels kemudian dijadikan modal mendirikan sebuah
distro yang menampung hasil kreativitas anak-anak Ujungberung dan Indonesia
pada umumnya, oleh Yayat selaku produser. Distro yang lalu berdiri
bernama Rebellion, bertempat di jl. Rumah Sakit. Kabarnya, Rebellion
adalah distro kedua di Indonesia
setelah Reverse Outfit. Belakangan,Rebellion pindah, bersinergi dengan
Pisces Studio. Pisces adalah studio milik Dandan ketika Kang Memet
akhirnya memutuskan menjual alat-alat band Studio Palapa, Februari 1997.
Sementara
dinamika rilisan kaset menggila, begitu juga dengan zine dan media.
Zine kedua setelah Revogram adalah Ujungberung Update. Mereka yang
berada di balik Ujungberung Update adalah Addy Gembel, Amenk, dan Sule.
Merekalah yang kemudian membuat istilah tren saat itu : Gogon, singkatan
dari Gosip-gosip Underground. Setelah Ujungberung Update, kemudian
lahir Crypt from the Abyss yang diasuh oleh Opick Dead, gitaris
Sacrilegious saat itu, Loud n’ Freaks yang diasuh oleh Toto, penabuh
drum Burgerkill, dan The Evening Sun yang diasuh Dandan sang drummer
Jasad. Belakangan, tahun 2000an, Toto bersinergi dengan Eben membuat
zine NuNoise, salah satu zine progresif yang mengkover pergerakan musik
termutakhir. Zine lainnya yang fenomenal dan terus bergerak hingga kini
adalah Rottrevore yang diasuh oleh Rio
serta Ferly, gitaris Jasad, merupakan media propaganda musik metal.
Belakangan, Rottrevore berkembang menjadi perusahaan rekaman khusus
musik metal. Rottrevore dimiliki grinder Jakarta, Rio, tapi dikelola oleh anak-anak Ujungberung Rebels.
Achievements & Events
Baby
Riots adalah sebutan anak-anak Ujungberung Rebels bagi pasukan tempur
bentukan Butchex, pentolan band The Cruels dan Mesin Tempur. Awalnya,
karena perkembangan Ujungberung Rebels yang semakin pesat secara
kualitas maupun kuantitas maka mulai terasa konflik dan gesekan dengan
masyarakat sekitar. Ujungberung yang berkultur indsutri dan merupakan
daerah peralihan yang gantel—kampung bukan, kotapun bukan—melahirkan
banyak juga komunitas lain yang serba tanggung dan kemudian lazim kita
namakan preman. Mereka kurang senang melihat anak-anak Ujungberung
dengan segala totalitasnya, wara-wiri di jalanan mulai dari Pasar
Ujungberung hingga jl. Rumah Sakit. Bentrokan dengan preman-preman pun
mulai terjadi. Awalnya hanya hangat-hangat tahi ayam, namun ketika
semakin kompleks dan merambah ke kekerasan dan perkelahian, maka
Ujungberung Rebels merasa harus membuat pasukan sendiri yang di dalamnya
terdiri dati mesin-mesin tempur berdaya ledak tinggi. Maka terbentuklah
Baby Riots. Baby Riots tak lantas hanya berperan sebatas mesin tempur.
Mereka juga ngeband dan banyak menghasilkan karya-karya. Band-band punk
Ujungberung asuhan The Cruels adalah beberapa di antaranya selain juga
metalhead-metalhead muda yang gejolaknya selalu membara. Musikalitas dan
attitude mereka juga tak diragukan lagi.
Musikalitas
pula, serta berbagai pencapaian mereka, yang semakin mengokohkan
eksistensi anak-anak Ujungberung Rebels. Berbagai rekaman dirilis di
komunitas ini dan mewarnai dinamika pergerakan msik metal bawahtanah di Indonesia.
Beberapa band sempat dirilis di luar negeri seperti Jasad yang dirilis
di Amerika dan Forgotten di Jerman dan Eropa Timur. Pencapaian fenomenal
lainnya jelas diraih Burgerkill yang kemudian menjebol label besar,
Sony Music Indonesia untuk kontrak enam album, sekaligus mendapatkan
penghargaan prestisius di bidang musik dalam ajang Anugerah Musik
Indonesia 2004 dengan menyabet kategori Best Metal Production untuk albumnya Berkarat.
Belakangan, Burgerkill meninggalkan label besar mereka setelah merasa
tak bisa lagi jalan bersama. Ini pula yang menjadi titik lahirnya label
Revolt! Records yang menaungi album ketiga Burgerkill, Beyond Coma and Despair.
Album ini sangat sukses dan fenomenal dalam pencapaian Burgerkill, dan
jelas komunitas Ujungberung Rebels. Berbagai kritik positif dan
penghargaan datang menyambut album ini. Terakhir, Beyond… dinobatkan majalah Rolling Stone sebagai salah satu dari 150 album sepanjang masa di Indonesia.
Dan Burgerkill memang layak mendapatkan itu, setelah sebelumnya mereka
membayar dengan harga yang sangat tak terhingga mahal : meninggalnya
sang vokalis, Scumbag Begundal Hardcore Ugal-ugalan.
Kuatnya
para musisi Ujungberung dalam memegang prinsip membuat komunitas ini
tetap hidup dan dinamis hingga sekarang. Idealisme itu kemudian mereka
manifestasikan dalam pergelaran-pergelaran musik yang mereka garap
sendiri dan pada akhirnya membuaka ruang juga untuk musisi-musisi di
luar Ujungberung untuk ikut berpartisipasi dalam dinamika Ujungberung
Rebels. Tiga pergelaran musik yang khas Ujungberung Rebels selain event
legendaries Bandung Berisik, adalah Rebel Fest, Rottrevore Death Fest
dan Death Fest. Yang menarik, dari pergelaran ini adalah fakta bahwa
pergelaran menjadi salah satu ajang regenerasi komunitas Ujungberung
Rebels. Selain itu, anak-anak Ujungberung menajdikan pergelaran mereka
sebagai ajang mempertunjukan kesenian tradisional sebagai pembuka atau
penutup acara. Salah satunya adalah kesenian debus yang ditanggap
anak-anak Ujungberung di ajang Death Fest II tahun 2007. Yang paling
mengagumkan dari pergelaran yang digelar anak-anak Ujungberung adalah
prestasi mereka mengumpulkan 25.000 penonton dalam acara Bandung Berisik
IV di Stadion Persib, Bandung tahun 2004. Pencapaian ini diklaim memecahkan rekor pergelaran musik bawahtanah terbesar se-Asia oleh majalah Time Asia.
Ekonomi Kreatif Ujungberung Rebels
Dinamika
pergerakan Ujungberung Rebels semakin menggurita saja dari hari ke
hari. Kini setidaknya ada tiga lahan garapan ekonomi kreatif yang
berkembang di komunitas Ujungberung Rebels, yaitu fesyen, rekaman, dan
literasi. Yang paling subur adalah indsutri fesyen. Setidaknya ada enam
industri fesyen yang digagas para pentolan Ujungberung Rebels, mulai
dari Media Graphic dan distro Chronic Rock yang dijalankan Eben,
Distribute yang dijalankan Pey, Reek yang dijalankan Ferly dan Man,
Melted yang dijalankan Amenk dan Andris, CV Mus yang dijalankan Mbie,
serta Scumbag Premium Throath yang ini diteruskan Erick sepeninggal
Ivan.
Di bidang industri rekaman, Ujungberung memiliki dua perusahaan rekaman yang sangat dinamis, Rottrevore Records yang dijalankan Rio
dan Ferly serta Revolt! Records yang dijalankan Eben. Rottrevore bahkan
memiliki media literasi berupa majalah metal kencang bernama Rottrevore
Magazine. Pentolan Ujungberung lainnya yang aktif di dunia literasi
adalah Iit dengan toko buku Omuniuum-nya serta Kimung dengan zine
MinorBacaanKecil dan penerbitan Minor Books yang menerbitkan biografi
Ivan, Myself : Scumbag Beyond Life and Death, sebuah buku fenomenal, bagian dari trilogi sejarah Ujungberung Rebels dan Bandung Underground.
Tentu
selain tiga lahan garapan tersebut masih banyak yang lainnya seperti
bisnis warnet yang dikelola Kudung atau toko musik atau sentra kuliner.
Semua lahan garapan pentolan-pentolan anak-anak Ujungberung Rebels
tersebut jelas membuka lebar perbaikan perekonomian minimal di kalangan
internal Ujungberung Rebels sendiri, maksimal ya…mungkin membayarkan
hutang Indonesia raya yang bejibun itu.
Segala
pencapaian itu tak datang dengan sendirinya. Segala datang bersama daya
konsistensi yang sangat tinggi dan idealisme yang teguh digenggam satu
tangan, sementara tangan yang lain menghajar jalanan dengan senjata
kreativitas. Tapi kunci dari segalanya adalah keteguhan prinsip. Panceg dina jalur,
tidak gamang menghadapi perubahan. Membaca segala perubahan sebagai
kulit saja bukan sebuah inti, sehingga ketika harus menyesuaikan diri
dengan perubahan tak lantas kehilangan diri tenggelam dalam euforia di
permukaan.
Segala
pencapaian itu juga harus dikelola dengan sinergi yang positif di
antara lahan-lahan garapan kreativitas sehingga akan terus berkembang
dan pada gilirannya menyumbangkan hal positif bagi masyarakat
kebanyakan. Sebuah sentra bisnis dan pusat pengembangan budaya di
Ujungberung pasti akan menjadi wadah yang menampung segala aspirasi dan
hasil kreativitas mereka menuju totalitas yang paling maksimal. Mininal
gedung konser yang di dalamnya terdapat juga youth center, dan pusat
dokumentasi dan pengembangan riset sosial budaya yang memadai.
Berangan-angan? Tidak juga! Panceg dina jalur!
Penulis adalah editor MinorBacaanKecil
Kata kunci: uber-rebels
Langganan:
Posting Komentar (Atom)